Sumba dalam Pameran Foto dan Kainnya
Padang Rumput, Kuda, dan Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari turun bagai bola api, cuaca kering
dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Begitu kiranya sepenggal bait akhir puisi milik Taufik Ismail yang
dipajang di pojok kiri dari pintu masuk Gedung Bentara Budaya yang bentuknya
hanya ruang kotak bak kubus. Diiringi dengan lagu-lagu khas Sumba yang
terdengar seantero ruang pameran, suasana menjadi begitu Sumba ketika membaca
seluruh bait puisi yang berjudul Beri
Daku Sumba. Sekilas pandang, puisi Beri
Daku Sumba yang diciptakan pada 1970 masih relevan dengan dengan keadaan
Sumba saat ini. Elok nan permai.
Persis seperti yang dituliskan di puisi, pameran persembahan dari Festival Sumba kali ini menyajikan foto
lanskap padang savana Sumba nan hijau lengkap dengan kuda-kudanya yang gagah. Bukitnya
berkelok-kelok, bergelombang, hijau setelah hujan. Kuda-kudanya nampak berotot
dan liar. Ada foto dengan segerombolan kuda putih di tengah padang savana hijau
kala senja. Ada pula foto kuda coklat di tengah padang savana kala terik. Foto-foto tersebut tertulis diambil dari
Bukit Warinding, Sumba Timur. Perpaduan yang pas sehingga membuat kami,
setidaknya, terasa seperti sedang di dalam foto-foto tersebut. Membayangkan
diri menari-nari, berlari-lari, dan tertidur saja di hijaunya rumput jika badan
lelah. Sepenilaian kami, agaknya si pembuat pameran berhasil menyajikan trailer indahya Sumba dalam pameran foto
yang berlangsung sejak 28 hingga 31 Oktober 2018.
Kain Sumba
Bercerita
“Kalian pasti gak nyangka
arti gambar ini. Ini artinya alat kelamin wanita” dan benar, dibuat terbengong
lah kami dan teman kami mendengan pernyataan kak Sinta, orang asli Sumba yang
kebetulan bertemu di pameran itu. Ia menunjakkan kami sebuah corak kain
berbentuk dua segitiga sama kaki yang dipertemukan sisi alasnya. Corak dalam
kain tersebut tidak untuk menggambarkan bahwa itu hanya boleh dipakai khusus
oleh wanita, tetapi itu menunjukkan bahwa orang Sumba sangat menghargai dan
menghormati wanita.
Bentangan kain sumba berwarna
coklat bergelombang memenuhi gradasi garis tengah ruang pameran. Namanya juga
pameran foto dan kain Sumba, pasti lah ada kain-kain khas yang dipamerkan dan
coba diceritakan. Kamingnya, pameran tersebut tidak menceritakan corak lukisan
tenunnya. Beruntungnya, kak Sinta sudi dengan senang hati menjelaskan sedikit
yang ia tahu soal corak dalam kain Sumba, kain yang biasa ia pakai sebagai
selimut tidur, katanya.
Di sudut kiri diagonal
ruang pameran, layar monitor juga menampilkan cerita akan indahnya Sumba dan
kainnya. Terlihat segerombol anak SMA nonton bareng, duduk bersama beralaskan
lantai menghadap layar monitor yang hanya berukuran sekitar 20 inci. Dengan
pemeran utama gadis manis asli Sumba, bersama kain Sumbanya yang memerangkap
tubuh, video tersebut menjadi penyihir perhatian pengunjung pameran.
Tepat di dinding sisi
belakang monitor, foto-foto proses pembuatan kain Sumba juga dipajang dengan
apik. Ada potret mama-mama yang sedang menjemur kain tenun ikat selepas pewarnaan
biru. Pewarna alami tersebut berasal dari tanaman Indigo yang dapat ditemui di
daerah Mangiling, Sumba Timur. Prosesnya masih dikisahkan sakral dan hanya boleh
dilakukan oleh perempuan, tulis Transpiosa Riomandha. Aktivitas menenun rupanya
menjadi aktivitas mengasyikkan di siang hari bagi mama-mama di Sumba. Terlihat
tak ada raut wajah lelah dalam foto, yang ada hanya kegembiraan, senyum, dan
kebersamaan yang hangat. Di bawah pohon yang rindang, di halaman depan rumah
adat yang beratapkan jerami, mama-mama berkreasi mencipta kain yang saat itu bisa
kami lihat secara lagsung.
Nonton Bareng Tradisi Pasola
Fajar menyingsing. Orang-orang akan berduyun-duyun
turun ke pantai untuk menangkap cacing Nyale. Munculnya cacing nyale rupanya
menjadi pertanda diadakannya acara Pasola. Menangkap Nyale pun tidak sembarang
menangkap. Ada maksud dan tujuannya. Orang-orang Sumba mencari Nyali atas
keyakinan bahwa cacing tersebut memiliki berbaga khasiat dan dapat diginakan
sebagai obat.
Memutari ruang pameran, foto-foto yang dipajang seolah
bercerita. Kali ini ceritanya tentang tradisi Pasola. Terpampang di sisi kanan
ruangan, beberapa foto menggambarkan riuh senang orang-orang Sumba nonton
bareng tradisi Pasola. Terjepret beberapa pemuda yang sampai-sampai berdiri di
atas sepeda motor karena tidak mau ketinggalan setiap adegan perang-perangan
ala Sumba ini. Lapangan rumput nan hijau dipenuhi oleh orang-orang yang menantikan
tradisi tersebut berlangsung. Mereka menyerbu di barisan depan agar juga tak
ketinggalan.
Lapangan
menjadi begitu berwarna bak pelangi. Kuda dan penunggangnya didandani. Pita
merah hati dan kuning menjular sepanjang ekor kuda, terbang-terbang mengikuti
ayunan bulu ekor yang berwarna kecoklatan. Pun di kepala si kuda, pita-pita
terjurai cantik di sisi kanan-kirinya. Di lehernya yang angkuh disematkan
kalung dengan renda-renda yang berwana-warni pula. Senada dengan si kuda, para
penunggang berpenampilanan layaknya laki-laki Sumba yang sesungguhnya. Ikat
kepala, kain yang dililitkan di perut, beberapa lembing untuk berperang, dan
telanjang kaki alias “nyeker”. Semuanya berpadu apik melukis satu lagi wajah
Sumba.
“Perjanjian
Menjaga Perdamaian”. Tulis Ferganata Indra Riatmoko untuk sebuah foto yang
diambil di Lapangan Bondokawango, Desa Perobatang, Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa
Tenggara Timur. Foto tersebut mengambil adegan berberapa laki-laki Sumba
lengkap dengan atributnya yang sedang berhadap-hadapan menjulangkan parangnya
masing-masing, seolah siap berperang. Uniknya, mereka seperti sambil menari.
Terbayang betapa asyiknya berada di sana saat itu. Mungkin musik-musik saling
bersautan dengan kerasnya. Mungkin juga teriakan para penonton saling beradu
menciptakan atmosfer upacara tradisi Pasola. Kami hanya menerka, mungkin juga caption yang ditulis Ferganata
mengadung makna bahwa tradisi Pasola adalah cara masyarakat Sumba yang dulunya
saling memerangi utuk berjanji menjaga perdamaian diantara mereka, agar
tercipta Sumba yang damai dan berhati nyaman seperti Jogja.
Tak
hanya melulu soal perjanjian, Ferganata juga menulis di foto lainnya bahwa
tradisi Pasola digelar setiap setahun sekali guna memohon restu dari para dewa
dan arwah nenek moyang agar hasil panen pada tahun tersebut melimpah ruah. Interpretasi
kami, caption ini menunjukkan bahwa
masyrakat Sumba masih teguh memegang kebudayaannya, kepercayaannya pada dewa
dan nenek moyang, meskipun agama-agama besar dunia telah merasuk dalam sistem
kehidupan mereka.
Setidaknya dan sedikitnya, foto-foto yang dipajang
berhasil membuat kami ingin nonton bareng secara langsung tradisi Pasola di
tanah Sumba.
Upacara Kedde: Mati
dan Kasta
Menghadap
pintu masuk, berjejer foto-foto upacara Kedde yang tertempel di dinding putih
yang bersih. Yang paling menarik perhatian dan paling melekat diingatan adalah
foto yang menjepret sebuah momen di mana seekor kerbau ditebas lehernya sambil
ditonton oleh masyarakat kampung. Namanya prosesi Tebung Karebau. Prosesi ini
merupakan rangkaian dari upacara penguburan atau patenung. Ditulis oleh
Gunawan, menebas leher kerbau pada saat upacara Kedde bagi laki-laki Sumba
merupakan pertaruhan harga diri yang diingat selamanya. Laki-laki akan dianggap
hebat apabila ia berhasil menebas leher kerbau hanya dengan sekalai tebasan.
Sebaliknya, jika ia gagal maka itu akan menjadi bahan olok-olokan seumur hidup.
Kemudian setelah kerbau ditebas lehernya, ia dikuliti dan dipotong-potong
dagingnya menjadi banyak bagian. Daging tersebut setelahnya dibagi-bagi sesuai
barang bawaan orang-orang yang hadir. Sebelumnya orang-orag harus menyerahkan
barang bawaan dan dicatat oleh panitia penyelenggara.
Sebelum
ditebas lehernya, si kerbau rupanya diarak terlebih dahulu keliling kampung.
Sebuah foto menangkap momen bagaimana si kerbau didandani dengan renda-renda
hijau kekuningan (mirip seperti daun kelapa muda. Tidak dijelaskan di foto) di
lehernya sebagai kalung. Kedua tanduknya pun dibungkus dengan kain kuning yang
dililit-lilit. Gunawan menerangkan bahwa besarnya kerbau dan banyaknya
rombongan yang mengiringinya merupakan simbol status sosial orang yang datang
maupun yang didatangi. Semakin besar kuantitas keduanya (kerbau dan rombongan)
artinya semakin tinggi status sosialnya atau semakin dihormati mereka di
tatanan kehidupan masyarakat mereka. Gunawan juga menerangkan bahwa rombongan
tidak hanya jalan keliling kampung, mereka menabuh gong, kendang, dan gamelan
sepanjang perjalanan. Suara-suara tersebut akan menarik perhatian orang di
sepanjang jalan agar mereka melihat seberapa besar si kerbau dan rombongan yang
mengiriginya atau dalam kata lain seberapa dihormatinya orang yang baru saja
meninggal tersebut. Sebuah foto yang meurut kami diambil di bagian depan rumah
seorang warga Sumba menarasikan dengan lugas simbol satatus sosial. Terjejer
keatas tanduk kerbau dari yang paling besar dan pajang hingga yang kecil dan
semakin pendek.
Kakek
tua dengan baju merah, ikat kepala warna warni, parang, dan kain Sumba sedang
memangku cucunya yang memakai gaun merah muda berpose menggigit jari. Keduanya
seperti hendak pergi ke pesta. Namun ternyata bukan pesta yang dibayangkan, pesta
tersebut adalah pesta atau acara penguburan. Caption fotonya tertulis “Baju terbaik yang dimiliki akan dikenakan
pada saat menghadiri pesta”. Satu lagu potret tentang bagaimaa orang Sumba
berpandagan terhadap kematian atau kedukaan.
Ekspresi
lain diungkapkan oleh mama-mama ketika acara kedukaan. Di ruang belakang rumah
duka, mama-mama akan menggunakan peniti dan api jelaga untuk membuat tato di
tubuhnya, namanya Katatu. Katatu adalah rajah atau tato yang dipercayai dapat
menempelkan ingatan pada tubuh mama-mama Sumba. Motifnya bisa bermacam-macam,
bisa hewan atau inisial nama orang yang meninggal.
Modernisasi Sumba
Mirri Yehu La Humba.
Benar-benar menculik perhatian, dalam sebuah foto, patung Yesus yang berdiri di
depan Gereja Katolik Sang Penebus-Waingapu diberi atribut layaknya laki-laki
Sumba sejati. Rupanya masyarakat Sumba membayangkan bahwa Yesus adalah orang
Sumba lengkap dengan kain tenun ikatnya.
Jalan aspal yang kanan kirinya masih
padang rumput nampak elok dalam bingkai foto. Mungkin terasa lebih elok jika
ada kuda di dalamnya, yang mana sudah menjadi ikon Sumba. Namun yang terjepret adalah potret wajah Sumba yang
telah mengalami modernisasi. Gerobak yang dulunya ditarik menggunakan kuda,
kini sudah ditarik dengan tenaga kendaraan bermotor.
Ada lagi, karena saat ini Sumba
mulai menjadi pusat perhatian, masyarakat lokal pun mulai berpikir bahkan telah
melakukan produksi pariwisata. Rumah-rumah adat yang tergabung dalam sebuah
kampung dijadikan objek wisata, kain tenun Sumba yang oleh kak Sinta hanya
dijadikan selimut semasa kecilnya dan hanya digunakan untuk upacara adat pada
kain-kain tertentu, kini semua orang dapat menikmati dan memiliki. Kain Sumba
telah terkomodifikasi menjadi objek wisata. Rempah-rempah dan hasil alam pun
begitu, sebuah menceritakan bahwa ketika sedang ramai pengunjung, warga akan
mengeluarkan hasil alam untuk dipajang dan dijual.
Pameran foto dan kain Sumba ini mungkin bukan menjadi
pusat perhtian pemirsa festival, buka juga yang mendapat kunjungan ter-ramai. Lokasi
atau venue yang berbeda dari ragkaian acara festival Sumba lainnya menurut kami
menjadi suatu hal yag menyebabkan sepinya pengunjung pameran. Namun demikian
pameran tersebut memang selayaknya diidakan untuk meng-etalase wajah Sumba yang
sebenarnya.
Betapa pun berubahnya Sumba, kami tetap terkesan akan
secuil tanah Indonesia yang satu ini. Pameran foto dan kain Sumba kali ini berhasil
menyihir kami untuk berkeinginan menjejakkan kaki di sana dan bercengkrama
dengan mama-mama di kala senja.
Komentar
Posting Komentar