The Journey: Mlaku-Mlaku ning Maluku
“Selamat datang,
selamat datang di Trans Amboina, anda akan menikmati perjalanan keliling Ambon
selamat 30 menit.” belum selesai aku menirukan suara yang biasa datang dari bus Trans Jogja, gelak tawa dari seisi bus akhirnya memotong parodi yang sedang kumainkan.
Ya, kali ini bukan Trans Jogja lagi yang kunaiki. Bus Trans Amboina dengan
gagahnya parkir di pelataran Bandara Pattimura untuk menjemput aku dan tim ini.
Rasanya seperti bus trans pribadi, wkwk. Hanya ada kami di dalamnya, dan memang
diutus untuk kami dari ayah Mike.
Semua penumpang bus,
yang tidak lain adalah aku, Fahmi, Sita, Nab, Toto, Sholeh, Alfira, Evan, Eni,
Kresna, Adam, dan kecuali Mike serentak menengokkan kepala ke arah jendela bus
yang tembus pandang ke sisi kanan jalan. Mata kami dikejutkan oleh birunya air
laut dan deburan ombak yang berada persis di samping jalan aspal yang sedang
kami lewati. Kapal-kapal dan perahu nelayan juga ikut menghiasi pertunjukkan
yang tayang pada pagi hari abu-abu di kota Ambon yang gerimis. Reflek bibirku
mengeja tatkala tulisan “Ambon City of Music” yang berada di tepi laut tersebut
berhasil mencuri perhatianku. Nama-nama penyanyi terkenal asal Ambon seperti
Glen Fredli kemudian juga ikut muncul atas respon dari pertanyaan yang otak ini
ajukan, mengapa Ambon dijuluku sebagai kota music. Jelas saja lah.
“Selamat pagi
Indonesia, selamat pagi nona” sambutan untuk kami dari mama mama penjual
makanan di kapal cepat yang kami naiki. Suara lantang dari mama mama tangguh
itu sungguh berhasil menggugah tubuhku yang sudah setengah mati suri. Aku
dibuatnya semangat sehingga membeli dagangannya, juga merasa
senang karena dibalas dengan senyum sumringah. Satu cup mie instans kulahap
pelan-pelan sambil menunggu kapal Torpedo Cantika ini lepas dermaga. Sampai
sesaat sebelum kapal berangkat, mama mama akan terus bersaut-sautan menawarkan
dagangannya kepada penumpang kapal. Sekali lagi, ini menjadi pertunjukkan yang
mengesankan hati dari sudut penglihatanku. Apalagi ditambah cek-cokan saling
adu jagoan negara pemenang piala dunia, membuatku tak sanggup untuk tidak
tertawa gigi. Ya, saat itu bertepatan dengan perhelatan akbar pertandingan bola
sejagad bumi. Euphoria di sana sangat menggigit dan terasa asik.
Bendera-bendera negara jagoan berkibar tinggi di mana-mana. Fenomena tersebut
aku lihat di sepanjang jalan menuju Pelabuhan ini, pelabuhan Tulehu.
Rasanya seperti naik
roller coaster. Aku dibuatnya naik turun menerjang tingginya ombak laut Banda.
Tak sanggup bergerap ke mana-mana. Perutku seperti diubek-ubek dan akhirnya keluar lagi si mie yang baru sekitar satu
jam berada di lambungku. Untung saja ada kantong plastic yang sepertinya memang
biasa disediakan untuk penumpang sepertiku. Tak hanya perut, kepalaku juga
dibuatnya beredar 360 derajat, pusing. Sungguh kejam kau ombak. Akhirnya perang
selama dua jam dengannya berakhir. Tapi terimakasih, telah mengantarkanku ke
Pelabuhan Amahai, pulau Seram.
Disambut dengan
jatuhnya air Tuhan yang tipis-tipis, aku bergegas mencari moda transportasi di
sekitar Pelabuhan Amahai untuk perjalanan selanjutnya. “kaka berapa orang kah?
Pakai oto ini lai” mendekatlah pemuda lokal dengan setelan kaos oblong, celana
pendek jeans, dan tentunya tanpa alas kaki. Oto adalah sebutan untuk mobil di
Maluku. Aku yang awalnya memasang mode cuek
bebek dan seolah sudah hapal daerah tersebut sebagai trik agar tidak
dikejar-kejar dan mendapat tawaran harga tinggi, akhirnya jatuh juga pilihan ke
sebuah Oto yang kalau di Jawa biasa disebut angkot.
“kaka jangan marah eh,
bisa keluar sebentar ya, ini ban mobil seng bisa dikompromi” pinta kaka kaka
sopir mobil Rush yang kami sewa.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar