Sekelumit Kontribusi Diri untuk Negeri
“Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Tidak hanya oleh Soe Hok Gie, cara tersebut juga aku
lakukan untuk mencintai dan mengenal lebih dekat tanah airku, Indonesia. Aku
sudah beberapa kali mendaki gunung bersama teman-teman Mahasiswa Pencinta Alam Universitas
Gadjah Mada (Mapagama). Awalnya, tujuanku bergabung dengan Mapagama semerta
merta hanya untuk menuruti nafsu mata yang haus akan indahnya sabana-sabana
gunung. Namun, hingga kini sudah tahun ketigaku bergelut di sini, tujuanku
drastis berubah. Pasalnya, tidak hanya mendaki gunung, memanjat tebing, atau
mengarungi derasnya arus sungai, aku dibekali dan diajari pula bagaimana
menyisipkan amalan Tridharma perguruan tinggi di setiap kegiatan yang kulakukan
dalam rangka mencintai dan mengenal Indonesia secara sehat.
Bicara soal kontribusi untuk Indonesia, yang akan kuceritakan
hanya seputar beberapa pengalamanku di Mapagama yang kuanggap berkesan dan
nyata. Mulai dari pengalaman pertama berbagi soal pendidikan lingkungan di SDN
2 Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta. Menjaga alam Indonesia melalui pemahaman
generasi mudanya terus kulakukan bersama teman-teman Mapagama. Selain itu aku
mengikuti ekspedisi yang juga menyisipkan pendidikan lingkugan untuk
disampaiakan kepada anak-anak SD di kaki gunung yang aku daki. Ekspedisi tersebut
bertajub peringatan Hari Kartini yang dibungkus dengan pendakian Gunung Butak,
Blitar, Jawa Timur.
Beberapa bulan kemudian, masih dengan misi yang sama,
aku melakukan perjalanan ekspedisi ke tanah Flores dengan konsep pendakian
Gunung Inerie, penelitian kampung adat, dan pengabdian serupa yang kulakukan di
Gunungkidul dan di Jawa Timur. Dalam perjalanana yang memakan waktu hampir tiga
minggu tersebut, aku jadi lebih bisa mengenal sebagian saudara setanah air yang
hidup di sisi timur. Banyak budaya yang kupelajari dan akhirnya menumbuhkan
sikap toleransi karena perbedaan budaya dari yang kuanut dalam diri. Aku ikut
merasakan pula betapa masih sulitnya hidup di setitik tanah negeri ini, sebuah
gambaran tentang betapa pembangunan infrastruktur tak kunjung merata. Aku temui
sebuah kampung kecil yang sedang kekurangan air dan berharap bantuan segera
datang. Aku yang belum bisa apa-apa, hanya bisa berteriak dalam hati bahwa aku
akan kembali untuk membantu mereka mengalirkan air bersih di seluruh penjuru
kampung, agar tak ada lagi bapak adat yang menemaniku mendaki Gunung Inerie
hanya berbekal moke (minuman khas
terbuat dari fermentasi nira).
Konsentrasiku untuk isu lingkungan kutuangkan lagi
dalam ekspedisi peringatan Hari Kartini di tahun berikutnya. Kali ini tanah
Sulawesi yang kujelajahi. Gunung Latimojong menjadi fokus utama. Aku dan tim
mengemas kegiatan ekspedisi pendakian Gunung Latimojong dengan mengampanyekan
gerakan zerowaste adventure (pendakian
tanpa sampah). Tujuannya jelas, kami mencoba mencontohkan sekaligus mengajak
pedaki-pendaki agar tidak membawa sampah ke gunung. Dari hal kecil itu, harapan
besar menyertai agar gunung beserta alam Indonesia selalu asri membumi.
Dan kontribusi terakhir kali yang kulakukan adalah
berpartisipasi dalam ekspedisi bertajuk riset/penelitian di Pulau Seram, Maluku
Tengah. Kali ini Gunung Binaiya yang menjadi perantara, mendakinya dan
bersentuhan dengan masyaraat di kakinya. Ekspedisi ini bertujuan untuk melihat alam,
manusia, dan kebudayaan Indonesia melalui tiga topik besar penelitan yaitu abiotik,
biotik, dan kultur. Aku bertanggung jawab atas penelitian topik kultur. Total
30 hari pelaksanaan ekspedisi, lagi-lagi pernyataan yang sama terucap bahwa aku
harus kembali, membantu saudara setanah airku hidup sejahtera di tanahnya
sendiri. Tidak sampai setahun, ekspedisi tersebut membuahkan inspirasi
penyelenggaraan KKN di sana. Aku hanya bisa berharap semoga tim KKN tersebut
berhasil berangkat dan menjalankan program-programnya sebagai perantara
perwujudan harapku selama ini.
Saat ini aku masih aktif di Mapagama dan menjabat sebagai
pengurus harian khususnya kepala bidang pendidikan. Sejalan dengan mimpiku,
bahwa melalui pendidikan aku bisa membantu membentuk pertumbuhan generasi muda
untuk lebih mencintai dan mengenal tanah airnya dengan cara masing-masing, atau
yang sering kami lakukan adalah dengan bertualang.
Mungkin tak seberapa, tapi itulah sekelumit kontribusi
diri yang bisa kuberi untuk bangsaku, Indonesia. Aku berharap Beasiswa Bazma
Pertamina bisa menjadi jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Tak muluk-muluk,
aku hanya ingin membantu lebih banyak desa di pelosok-pelosok Indonesia melalui
ilmu-ilmu yang kutimba. Beruntungnya, keluargaku selalu mendukung kegiatan dan
keputusan-keputusan yang aku ambil. Mereka memberi kepercayaan penuh terhadapku
untuk berkembang dan tumbuh dewasa. Namun dibalik kepercayaan yang mereka
berikan, terdapat pesan yang selalu tergaung dari mulut mamak bapak, yaitu “Jangan
lupa pulang, dan bangun desamu juga.”
Komentar
Posting Komentar