Relasi Menantu dan Mertua


Sering kita mendengar masalah ketidakakuran antara mertua perempuan dengan menantu perempuannya. Ada stereotip yang menggambaran bahwa mertua perempuan adalah kejam, garang, dan patut untuk dihati-hatikan. Namun sepertinya steriotip semacam ini dapat terpatahkan jika melihat keadaan di ‘lapangan’ bahwa tidak semua mertua perempuan kejam atau garang terhadap menantu perempuannya. Pun sebaliknya, tidak semua mertua laki-laki kejam, garang dan selalu menuntut manantu laki-laki. Nyatanya ada banyak hubungan antara menantu baik laki-laki maupun perempuan dengan mertuanya yang hangat dan harmonis.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa mungkin ada ketidaksiapan dan ketidakikhlasan dari pihak mertua perempuan atau mertua lali-laki untuk melepas anaknya, membiarkan anaknya dihidupi kehidupannya oleh orang lain. Pihak mertua menganggap bahwa anaknya adalah masih dan tetap menjadi anaknya. Ketidakbecusan pihak menantu untuk menghidupi anaknya mungkin juga menjadi fakor terjadinya konflik dan perang dingin diantara menantu dan mertua.
Namun dari pandanagan dan pengamatan saya pribadi selama ini, atas apa yang dialamai oleh nenek saya, atas apa yang saya lihat tetang hubungan nenek saya sebagai mertua dan menantu perempuannya yang berlatar belakang suku berbeda, sungguh ketidakakuran yang nyata. Jadi saya menangkap masalah ini adalah berakar dari perbedaan. Perbedaan bisa berasal dari konteks mana saja. Contoh yang saya amatai adalah perbedaan suku. Mungkin ideoloi dan nilai-nilai yang ditanamkan di satu pihak suku berbeda sangat kontras dengan pihak suku lainnya, sehingga sangat sulit dan membutuhkan waktu tidak sebentar untuk beradaptasi dan saling memahami.
Satu lagi faktor yang mempengaruhi hubungan ‘buruk’ antara menantu peremuan dan mertua perempuan. Masih dari studi kasus yang sama, mengenai mandul. Saya berpandangan bahwa konstruksi pikiran masyarakat tradisional adalah selalu menganggap bahwa yang mandul pasti pihak perempuan, itulah mengapa jika dlam suatu pernikahan, dalam beberapa thun belum juga meiliki eturunan, maka tekanan-tekanan dari berbagai pihak, asyrakat di sekitarnya, terutama mertua, akan selalu dolontarkan kepada menantu perempuan. Padahal konstruksi pikiran semacam ini lah yang belakangan ini terbukti tidak benar di dunia kedokteran. Nytanya tidak selalu perempuan yang mengalami mandul, bisa jadi si laki-lakinya. Dalam kasus yang lebih parah, orang awam yang ‘tradisional’ tidak akan mau tau dan akan main hakim sendiri dengan mencoba berbagai cara agar si laki-laki mau menceraikan si perempuan dengan alasan si perempuan lah yang menyebakan mereka tidak kunjung memiliki keturunan.
Intinya, dari sepenangkapan saya dan sepemahan saya atas pengalaman dan ilmu pegetahuan yang saya dapat selama ini, relasi antara menatu dan mertua yang buruk sedikinya dipengaruhi oleh dua factor yang telah saya jelaskan di atas; perbedaan (budaya, ideologi, nilai, dll) dan konstruksi masyarakat tradisional tentang kemadulan hanyalah milik satu gender yaitu perempuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Journey: Mlaku-Mlaku ning Maluku