Review: Bat Batang Fitroa Fitnangan (Tata Guna Tanah & Laut Tradisional Kei) Oleh: J.P Rahail


Apresiasi saya sampaikan untuk J.P Rahail sebagai kepala adat Maur Ohoiwut di kecamatan Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara yang telah sudi dengan usaha kerasnya dalam membukukan tradisi tata guna laut dan tanah tradisional Kei yang dahulu hanya diwariskan secara lisan dan turun-temurun. Mengingat pasti ada banyak distorsi dalam pewarisannya, maka pembukuan ini memang patut dibuat.
Buku kecil yang berjudul Bat Batang Fitroa Fitnangan ini, sedikit banyak membuka mata hati pembacanya bahwa sistem hukum formal tidak selalu dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah lokal yang telah memegang erat sistem hukum adat tradisional, bahwa sistem hukum formal tidak selalu baik dalam pelestarian dan konservasi sumber daya alam, bahwa ternyata sistem hukum adat tradisional juga memiliki kelebihan dalam hal tersebut. Contohnya sasi, yang hingga saat ini menjadi salah satu unsur terpenting dalam mengolah tata guna lahan dan laut secara tradisional di Kei.
Dilihat dari letak geografisnya, hampir seluruh penduduk wilayah adat Maur Ohoiwut adalah petani ladang sekaligus nelayan tradisional. Falsafah dasar yang menekankan pentingnya kehidupan yang menghidupkan semua yang hidup, akhirnya menghasilkan sistem tata guna tanah dan laut yang arif. Manusia dapat mengambil hasil alamnya, namun tidak lupa dalam menjaga dan menghormatinya sebagai makhluk Tuhan yang hidup pula.
Kepemilkan lahan juga dibagi sedemikian rupa dengan sistem pertuanan. Kampung, marga, dan keluarga pati dibagi-bagi kepemilikan lahannya secara adil dan bijaksana. Penentuan tapal batas ditarik melalui tanda-tanda alam, seperti puncak bukit, pohon besar, dll. “Tuan Tanah” (Nuhu Met Duan) yang bertugas menangani dan menjadi penengah dalam setiap kasus sengketa lahan antar wilayah adat, antar desa/kampung dan antar marga dalam praktiknya akhirnya menjadi stakeholder yang kuat.
Meskipun memang kenyataannya sengketa lahan tidak dapat dihindarkan, namun penyelesaian sengketa lahan mengenai tapal batas dan sebagaianya seringkali lebih efektif menggunakan sistem hukum lokal tradisional yang arif dibanding menggunakan aturan-aturan resmi hukum negara, dengan berbagai aturan birokrasinya yang berbelit-belit dan seringkali sangat terasa asing bagi masyarakat adat setempat. Ini juga yang kemudian melandasi harmonis sosial dalam masyarakat adat Kei, yang jauh dan kuat dari serbuan pengaruh asing yang serakah.
Duduk masalah antara sistem hukum positif formal dengan sistem hukum adat tradisional tidak lain hanya terletak pada perbedaan kepemilikan. Pak Rahail akhirya mencoba menggugat ketidakpedulian sistem hukum formal dan keangkuhan ilmu pengetahuan modern sekaligus menyampaikan bahwa yang dibutuhkan oleh sistem tradisional adalah peluang hak hidup dan ruang gerak yang lebih lapang untuk membuktikan diri sebagai sesuatu yang juga berharga bagi kehidupan peradaban manusia kini dan nanti. Antara sistem hukum formal dan tradisonal, beliau menemukan bahwa antara keduanya ada banyak unsur yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan, bukan saling menafikkan atau menjatuhkan. Maka dibutuhkan kerendahan hati melebur bersama membentuk suatu tawaran sistem yang ramah terhadap lingkungan untuk peradaban yang lebih maju.
Setelah membaca bunga rampai dari pak Rahail, kemudian timbul pertanyaan dalam diri saya, mengapa dan apa yang membuat kerendahan hati dari salah satu atau kedua belah pihak tersebut tak kunjung muncul? dengan derasnya arus modernisasi dan globalisasi, apakah kemudian dapat menggerus hampir seluruh masyarakat tradisonal yang memegang teguh hukum adat tradisionalnya? Jika demikian, akan kah tujuan untuk meleburkan kedua sistem tersebut menjadi semakin sulit dicapai karena suara tradisional menjadi minoritas? bagaimana kemudian proses peleburan ini berjalan? Adakah penengah di antara kedua belah pihak tersebut yang mengawasi proses peleburan ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Journey: Mlaku-Mlaku ning Maluku