Review: Kekayaan, Agama, dan Kekuasaan-Identitas (dalam) Konflik
Bagian
kecil dari buku ini bercerita tentang segmentasi sosial yang menjadi benih
konflik-konflik di masyarakat Kei. Segmentasi social yang telah mengakar
diyakini sebagai akibat dari kepentingan politik para penjajah, baik Belanda
maupun Jepang. Strutur masyrakat Kei dirusak dan dipecah belah menjadi beberapa
kubu. Dimulai dari masa kolonial Belanda. Ketika itu tiga agama besar dunia;
Islam, Katolik, dan Protestan mengilhami masyrakat Kei secara bersamaan dan
masyarakat Kei pun menjadi terkotak-kotak. Liciknya, saat itu pemerintah kolonial
lebih memihak pada kelompok masyarakat beragama Katolik dan Protestan,
sedangkan kelompok masyarkat Islam terdiskriminasi pada berbagai aspek
kehidupannya. Namun, setelah pemerintah kolonial Belanda runtuh, dan digantikan
oleh pemerintahan Jepang, keadaan menjadi terbalik. Jepang memanfaatkan warisan
adu domba Belanda tersebut dengan menjadikan kelompok masyarakat Muslim sebagai
kelompok yang diutamakan. Upaya-upaya balas dendam dari kelompok Katolik dan
Protestan hampir saja dilakukan, namun dapat teredamkan.
Segmentasi social tersebut
kemudian semakin dipertegas oleh adat budaya masyarakat Kei sendiri.
Aturan-aturan dan kontrak perkawinan yang endogami menjadikan batas-batas agama
sebagai senjata yang memakan tuannya. Namun demikian, segmentasi sosial
menciptakan unit sosial yang ada saat ini dan memudahkan pemeliharaan kontrak
pertukaran. Budaya kontrak pertukaran ini lah yang membuat tidak adanya pengemis
dalam struktur masyarakat Kei. Mereka saling bertukar dan berhutang untuk
mempertahankan hidup dan itu dibenarkan dan disepakati bersama. Sayangnya,
orang-orang Kei secara tidak sadar hanya memanipulasi persaudaraan fiktif yang
berujung pada pelintasan dan perusakan batas-batas adat dan budaya mereka
sendiri. Sama saja, konflik pun menjadi tak terhindarkan.
Tidak melulu konflik,
kenyataannya masyarakat Kei pernah terintegrasi dan melupakan
identitas-identitas yang mereka bawa. Hal ini terjadi ketika kampanye Partai
Golkar di mana masyaraat Kei bida dikumpulkan bersama dalam lapangan yang sama.
Terjadi pula ketika seorang Pastor Somai datang ke Kei untuk memberikan
penyembuhan kepada masyarakat Kei. Ketika itu, orang-orang menjadi “menyakitkan
diri” dan kemudian berbondong-bondong bersama mendatangi si pastor untuk
disembuhkan. Ada lagi satu momen ketika seorang wanita penderita epilepsi hilang
pada suatu malam di suatu kampung. Ketika itu semua elemen masyarakat mencari
keberadaan wanita tersebut, tidak peduli identitas agama atau apapun. Mereka
semua merasa sedang dalam kondisi yang sama, yaitu terancam oleh roh halus dan
pemburu kepala.
Lalu dari ketiga kasus
tersebut timbul pertanyaan dalam diri, apakah masyarakat Kei hanya bisa
terintegrasi dan melupakan segmentasi sosial jika dihadapkan dengan
kesengsaraan dan keterancaman?
Komentar
Posting Komentar